Malang - Kali ini kami akan mambahas tentanhg siapa yang melestarikan Topeng Malangan ??
Handoyo tidak hanya lihai mengukir kayu menjadi topeng sesuai
karakter tokoh dalam seni wayang topeng malang, tetapi dia juga biasa
memerankan tokoh utamanya dalam berbagai pentas. Handoyo, cucu almarhum
Mbah Karimun, maestro topeng malang, memang ”mengemban tugas” untuk
melestarikan kesenian yang telah diwariskan secara turun-temurun itu.
Matahari
bersinar terik pada Jumat, pertengahan Mei lalu. Namun, suasana di
Pedepokan atau Sanggar Asmoro Bangun yang berada di ujung Jalan Prajurit
Slamet, Dukuh Kedung Monggo, Desa Karangpandan, Pakisaji, Kabupaten
Malang, Jawa Timur, itu terasa lebih sejuk.
Di bangunan pendapa
itu beberapa anak tampak asyik bermain karambol. Di tempat itu pula
Handoyo dan para penari berlatih menari sekaligus berpentas.
Sementara
di belakang gerai yang digunakan untuk memamerkan puluhan topeng dengan
karakter berbeda-beda, terlihat pria yang memiliki nama lengkap Tri
Handoyo (35) itu tengah bekerja.
Rupanya ia sedang menyempurnakan
topeng berbahan baku kayu beringin kecoklatan dengan memakai gancu (alat
pengikis kayu mirip cangkul) kecil. Beberapa potong kayu bakalan topeng
tertumpuk di sekeliling Handoyo.
Meski sedang sibuk, Handoyo
tetap menyambut setiap tamu yang datang. Siang itu, misalnya, baru
sekitar 30 menit sudah ada lima tamu yang berkunjung ke pedepokan
tersebut. Mereka ada yang datang untuk sekadar melihat ataupun memesan
topeng sebagai suvenir.
”Sebenarnya kami juga melayani pesanan
(pembuatan topeng), termasuk dari luar negeri, seperti Jerman, Belanda,
dan Jepang,” ujarnya.
Handoyo kemudian bercerita, pembuatan topeng
yang dia kerjakan bersama enam warga setempat itu semula hanya untuk
memenuhi kebutuhan properti kesenian wayang topeng. Memang wayang topeng
telah digeluti keluarga besar Handoyo secara turun-temurun.
Kesenian
wayang topeng sesungguhnya telah lama berkembang di Malang dan
sekitarnya. Sebagian orang menyebut wayang topeng malang dengan wayang
topeng malangan.
Menjadi kerajinan
Topeng
untuk kebutuhan pementasan wayang topeng malang tersebut kemudian
bertransformasi dan dikembangkan untuk keperluan lain, yakni kerajinan.
Handoyo bercerita, awalnya sang kakek, Mbah Karimun, yang mulai membuat
kerajinan topeng tersebut.
Ketika itu Mbah Karimun membuat topeng
guna mengganti properti lama yang hilang dicuri orang. Peristiwa itu
terjadi pada masa kolonial saat rumah penduduk Kedung Monggo banyak
ditinggal mengungsi akibat peperangan yang terjadi.
Mbah Karimun
merupakan keturunan ketiga dari Mbah Serun, kakek buyut Handoyo, yang
awalnya memiliki grup wayang topeng di Kedung Monggo. Dulu Mbah Karimun
membuat topeng untuk keperluan sendiri.
Oleh karena buatannya
bagus, kemudian banyak orang memesan topeng-topeng tersebut. Ayah
Handoyo, Taslan, lalu mengembangkan kerajinan topeng dalam berbagai
bentuk yang lebih fleksibel penggunaannya, mulai dari hiasan sampai
gantungan kunci.
Atas kiprahnya dalam bidang seni, MbahKarimun
yang meninggal pada 2010 mendapatkan anugerah gelar maestro dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga pada 2010.
”Dalam
bidang kesenian wayang topeng, saya generasi kelima. Sementara dalam
pembuatan topeng, saya merupakan generasi ketiga,” tutur Handoyo, anak
bungsu dari tiga bersaudara yang kedua kakaknya memilih berkarya sebagai
pegawai.
Melatih siswa SD-SMP
Wayang
topeng merupakan sebuah kesenian yang mirip wayang orang, tetapi
pemainnya memakai topeng. Di dalamnya ada alur cerita dan tarian. Cerita
yang dibawakan biasanya seputar kisah Panji dari Kerajaan Jenggala di
Kediri.
Di Sanggar Asmoro Bangun terdapat 76 karakter, tetapi yang
biasa dipentaskan hanya 20-25 topeng. Mereka terdiri dari empat
kelompok utama, yakni tokoh baik, tokoh antagonis, para pembantu yang
lucu, dan satwa sebagai pelengkap.
Sekarang di Malang masih
terdapat beberapa kelompok kesenian wayang topeng. Namun, menurut
Handoyo, Pedepokan Asmoro Bangun termasuk yang paling aktif. Hal ini
ditunjukkan, antara lain, melalui kegiatan rutin mereka.
Setiap
minggu selalu ada pembelajaran tari bagi para siswa SD dan SMP. Sekarang
ada sekitar 50 siswa yang belajar di Pedepokan Asmoro Bangun. Ada juga
latihan karawitan bagi remaja yang dilakukan tiga kali dalam sepekan.
Selain itu, ada pentas bulanan bertajuk ”Gebyak Topeng Senin Legian”
yang telah berlangsung selama empat tahun terakhir ini.
”Di
pedepokan ini regenerasi kesenian wayang topeng tetap berlangsung.
Mereka yang terlibat dalam pembuatan topeng kebanyakan juga para pemain
wayang topeng kami,” ungkap Handoyo.
Anak-anak yang belajar di
pedepokan ini, selain mendapatkan pelajaran menari wayang topeng malang,
juga diarahkan untuk membuat topeng.
”Awalnya saya mengajari
mereka dengan menggosok topeng, lalu mengecat, sebelum nantinya bisa
membuat sendiri topeng yang sederhana,” tutur Handoyo yang lulus sekolah
menengah pariwisata ini.
Biaya swadaya
Semua
kegiatan seni, mulai dari pembelajaran tari bagi anak-anak, latihan
karawitan, sampai pentas bulanan, dibiayai secara swadaya oleh Handoyo.
Dana tersebut diperoleh Handoyo dari hasil menyisihkan penjualan topeng.
Sementara para murid tari di pedepokan ini tidak dikenai biaya.
Sanggar
Asmoro Bangun sudah sering menggelar pentas, terutama di Malang Raya,
yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Pada 2-6
Maret lalu, misalnya, mereka menghadiri undangan pentas di Bangkok,
Thailand, dalam rangka Festival Panji Se-Asia Tenggara. Kegiatan ini
diikuti lima negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan
Kamboja.
Bersama pemerintah daerah, Sanggar Asmoro Bangun juga
pernah meraih rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) berupa pembuatan
replika Kabupaten Malang dari ribuan topeng. Replika itu dibuat dalam
rangka ulang tahun kabupaten pada 2007.
Menurut Handoyo, untuk
melestarikan wayang topeng malang perlu ketekunan dan kerja keras. Ia
mencontohkan, dirinya pernah mengajak kelompok wayang topeng lain
di Malang untuk menyelenggarakan acara bulanan ”Gebyak Topeng Senin
Legian” secara bergantian. Namun, hal itu sulit terwujud karena mereka
umumnya terkendala masalah dana.
Bangunan sanggar yang dipimpin
Handoyo itu berdiri pada 1982 atas bantuan pemerintah kabupaten setelah
pihak sanggar menjadi wakil Jawa Timur untuk mengikuti festival selama
satu bulan di Jakarta pada 1978. Untuk perkembangan ke depan, anak muda
di daerah tersebut memiliki rencana guna menjadikan Pedukuhan Kedung
Monggo sebagai desa wisata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar