Kamis, 20 Maret 2014

Pelestari Topeng Malangan

Malang - Kali ini kami akan mambahas tentanhg siapa yang melestarikan Topeng Malangan ??
Handoyo tidak hanya lihai mengukir kayu menjadi topeng sesuai karakter tokoh dalam seni wayang topeng malang, tetapi dia juga biasa memerankan tokoh utamanya dalam berbagai pentas. Handoyo, cucu almarhum Mbah Karimun, maestro topeng malang, memang ”mengemban tugas” untuk melestarikan kesenian yang telah diwariskan secara turun-temurun itu.
Matahari bersinar terik pada Jumat, pertengahan Mei lalu. Namun, suasana di Pedepokan atau Sanggar Asmoro Bangun yang berada di ujung Jalan Prajurit Slamet, Dukuh Kedung Monggo, Desa Karangpandan, Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu terasa lebih sejuk.
Di bangunan pendapa itu beberapa anak tampak asyik bermain karambol. Di tempat itu pula Handoyo dan para penari berlatih menari sekaligus berpentas.
Sementara di belakang gerai yang digunakan untuk memamerkan puluhan topeng dengan karakter berbeda-beda, terlihat pria yang memiliki nama lengkap Tri Handoyo (35) itu tengah bekerja.
Rupanya ia sedang menyempurnakan topeng berbahan baku kayu beringin kecoklatan dengan memakai gancu (alat pengikis kayu mirip cangkul) kecil. Beberapa potong kayu bakalan topeng tertumpuk di sekeliling Handoyo.
Meski sedang sibuk, Handoyo tetap menyambut setiap tamu yang datang. Siang itu, misalnya, baru sekitar 30 menit sudah ada lima tamu yang berkunjung ke pedepokan tersebut. Mereka ada yang datang untuk sekadar melihat ataupun memesan topeng sebagai suvenir.
”Sebenarnya kami juga melayani pesanan (pembuatan topeng), termasuk dari luar negeri, seperti Jerman, Belanda, dan Jepang,” ujarnya.
Handoyo kemudian bercerita, pembuatan topeng yang dia kerjakan bersama enam warga setempat itu semula hanya untuk memenuhi kebutuhan properti kesenian wayang topeng. Memang wayang topeng telah digeluti keluarga besar Handoyo secara turun-temurun.
Kesenian wayang topeng sesungguhnya telah lama berkembang di Malang dan sekitarnya. Sebagian orang menyebut wayang topeng malang dengan wayang topeng malangan.
Menjadi kerajinan
Topeng untuk kebutuhan pementasan wayang topeng malang tersebut kemudian bertransformasi dan dikembangkan untuk keperluan lain, yakni kerajinan. Handoyo bercerita, awalnya sang kakek, Mbah Karimun, yang mulai membuat kerajinan topeng tersebut.
Ketika itu Mbah Karimun membuat topeng guna mengganti properti lama yang hilang dicuri orang. Peristiwa itu terjadi pada masa kolonial saat rumah penduduk Kedung Monggo banyak ditinggal mengungsi akibat peperangan yang terjadi.
Mbah Karimun merupakan keturunan ketiga dari Mbah Serun, kakek buyut Handoyo, yang awalnya memiliki grup wayang topeng di Kedung Monggo. Dulu Mbah Karimun membuat topeng untuk keperluan sendiri.
Oleh karena buatannya bagus, kemudian banyak orang memesan topeng-topeng tersebut. Ayah Handoyo, Taslan, lalu mengembangkan kerajinan topeng dalam berbagai bentuk yang lebih fleksibel penggunaannya, mulai dari hiasan sampai gantungan kunci.
Atas kiprahnya dalam bidang seni, MbahKarimun yang meninggal pada 2010 mendapatkan anugerah gelar maestro dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga pada 2010.
”Dalam bidang kesenian wayang topeng, saya generasi kelima. Sementara dalam pembuatan topeng, saya merupakan generasi ketiga,” tutur Handoyo, anak bungsu dari tiga bersaudara yang kedua kakaknya memilih berkarya sebagai pegawai.
Melatih siswa SD-SMP
Wayang topeng merupakan sebuah kesenian yang mirip wayang orang, tetapi pemainnya memakai topeng. Di dalamnya ada alur cerita dan tarian. Cerita yang dibawakan biasanya seputar kisah Panji dari Kerajaan Jenggala di Kediri.
Di Sanggar Asmoro Bangun terdapat 76 karakter, tetapi yang biasa dipentaskan hanya 20-25 topeng. Mereka terdiri dari empat kelompok utama, yakni tokoh baik, tokoh antagonis, para pembantu yang lucu, dan satwa sebagai pelengkap.
Sekarang di Malang masih terdapat beberapa kelompok kesenian wayang topeng. Namun, menurut Handoyo, Pedepokan Asmoro Bangun termasuk yang paling aktif. Hal ini ditunjukkan, antara lain, melalui kegiatan rutin mereka.
Setiap minggu selalu ada pembelajaran tari bagi para siswa SD dan SMP. Sekarang ada sekitar 50 siswa yang belajar di Pedepokan Asmoro Bangun. Ada juga latihan karawitan bagi remaja yang dilakukan tiga kali dalam sepekan. Selain itu, ada pentas bulanan bertajuk ”Gebyak Topeng Senin Legian” yang telah berlangsung selama empat tahun terakhir ini.
”Di pedepokan ini regenerasi kesenian wayang topeng tetap berlangsung. Mereka yang terlibat dalam pembuatan topeng kebanyakan juga para pemain wayang topeng kami,” ungkap Handoyo.
Anak-anak yang belajar di pedepokan ini, selain mendapatkan pelajaran menari wayang topeng malang, juga diarahkan untuk membuat topeng.
”Awalnya saya mengajari mereka dengan menggosok topeng, lalu mengecat, sebelum nantinya bisa membuat sendiri topeng yang sederhana,” tutur Handoyo yang lulus sekolah menengah pariwisata ini.
Biaya swadaya
Semua kegiatan seni, mulai dari pembelajaran tari bagi anak-anak, latihan karawitan, sampai pentas bulanan, dibiayai secara swadaya oleh Handoyo. Dana tersebut diperoleh Handoyo dari hasil menyisihkan penjualan topeng. Sementara para murid tari di pedepokan ini tidak dikenai biaya.
Sanggar Asmoro Bangun sudah sering menggelar pentas, terutama di Malang Raya, yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Pada 2-6 Maret lalu, misalnya, mereka menghadiri undangan pentas di Bangkok, Thailand, dalam rangka Festival Panji Se-Asia Tenggara. Kegiatan ini diikuti lima negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Kamboja.
Bersama pemerintah daerah, Sanggar Asmoro Bangun juga pernah meraih rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) berupa pembuatan replika Kabupaten Malang dari ribuan topeng. Replika itu dibuat dalam rangka ulang tahun kabupaten pada 2007.
Menurut Handoyo, untuk melestarikan wayang topeng malang perlu ketekunan dan kerja keras. Ia mencontohkan, dirinya pernah mengajak kelompok wayang topeng lain di Malang untuk menyelenggarakan acara bulanan ”Gebyak Topeng Senin Legian” secara bergantian. Namun, hal itu sulit terwujud karena mereka umumnya terkendala masalah dana.
Bangunan sanggar yang dipimpin Handoyo itu berdiri pada 1982 atas bantuan pemerintah kabupaten setelah pihak sanggar menjadi wakil Jawa Timur untuk mengikuti festival selama satu bulan di Jakarta pada 1978. Untuk perkembangan ke depan, anak muda di daerah tersebut memiliki rencana guna menjadikan Pedukuhan Kedung Monggo sebagai desa wisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar